Oleh: Meidiana
“Kemiskinan bukan perso’alan yang dapat mematahkan miliaran mimpi, justru karenanya saya berani bermimpi dan terus bermimpi”
Aku Meidiana, sebagian orang menganggapku anak perempuan yang malang, sebagian lainnya menganggapku sosok yang mau berjuang, dan sisanya lagi tak begitu peduli padaku. Wajar aku memang terlahir dari keluarga tidak mampu yang dibesarkan oleh ibu dan nenekku. Di usiaku yang ke empat belas hari ayahku pergi meninggalkanku, dan sejak kepergiannya ia tak pernah memberi nafkah untuk aku dan ibu. Dari tahun 1999 – 2004 ayah dan ibuku hanya berkomunikasi via surat, itu pun bisa dihitung jari berapa kali mereka balas- balasan surat. Di usia yang ke lima tahun, lewat surat terakhir yang dikirim ayah, ayah meminta ibu untuk mencari penggantinya dan jangan menghubunginya lagi sebab ia telah memiliki keluarga baru. Meski kala itu ibu masih muda dan aku masih balita, ibu benar-benar tak mau menerima lamaran beberapa pria dan ibupun memutuskan untuk hidup menjanda.
Selama delapan belas tahun, aku, ibu dan nenekku tinggal di sebuah rumah tua peninggalan almarhum kakek. Rumah klasik yang pada masanya tergolong hitz namun iya seiring berjalannya waktu rumah tersebut jadi ketinggalan jaman, pondasinya semakin keropos, lantainya mulai berlubang dan atapnya sangat menyusahkan saat musim penghujan telah tiba. Pada tahun 2017 lalu, pamanku mengusir kami dari sana, ia menempati rumah tersebut bersama anak dan isterinya, pekarangpun baru-baru ini dikuasainya secara paksa, itu sebabnya dua tahun belakangan ini kami tidak memiliki tempat tinggal sehingga kami menumpang di rumah bude.
Sebagai tulangpunggung keluarga, ibuku bekerja sebagai pencetak batu- bata sekaligus buruh sadap karet. Sebagai wanita ibu tak pernah malu dengan pekerjaannya, selagi halal apa yang bisa ia kerjakan semua ia kerjakan. Kasarnya tangan ibu, kusamnya muka ibu, keriputnya kulit ibu semua adalah karena aku, demi kebahagiaan dan masa depanku. Namun meski telah banting tulang begitu, upah yang didapat ibu tetap tak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari apalagi untuk membiayai sekolahku, maka tak jarang pula ibu kerap menghutang kepada saudara ataupun tetangga.
Tentang perjalanan pendidikanku tentulah tak selembut sutera, jenjang ke jenjangnya selalu memiliki cerita yang tak semanis madu. Mengingat semasa aku sekolah, tentu tak terhitung berapa banyak jumlah cibiran yang mengusik pendengaran, tak terhitung pula berapa liter deraian air mata yang pernah berlinang. Bagi anak janda paruh baya sepertiku berkeinginan untuk sekolah tentu mengundang kontroversial di lingkungan keluarga pun di masyarakat. Namun di setiap ada kemauan pasti ada jalan, dengan seizin yang Maha Kuasa lewat do’a, ikhtiar dan mental yang berlapis baja akhirnya aku bisa menamatkan sekolah dua belas tahun dan merasakan teraihnya beberapa prestasi akademik maupun non akademik, serta sempat pula membawa ibu ke sekolah untuk menemaniku menerima penghargaan.
Terlepas dari apa yang terjadi dan bagaimana keadaan saat itu, jujur sebelum kelulusan SMA saya tidak tahu setelah lulus mau ke mana. Teman-teman sebaya sibuk mau masuk perguruan tinggi pilihannya, sementara saya merana. Hingga pada akhirnya setelah merenung saya mulai memikirkan masa depan, jika saya tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi maka mungkin di masa depan saya dan keturunan saya akan tetap dengan keadaan seperti ini. Kemiskinan akan terus berdansa mesra jika saya tidak berusaha lebih keras untuk memutus hubungan dengannya.
Diam-diam sebelum kelulusan dibantu oleh waka kesiswaan, saya mendaftar SNMPTN, sebenarnya saya ragu untuk mengisi formulir pendaftaran online tersebut, tapi dukungan dari pihak sekolah begitu kencang kala itu, sehingga rasanya malu kalau saya menolak untuk mendaftar. Setelah mendaftar saya tidak terlalu memikirkan, saya ikut ujian nasional kemudian beberapa minggu saya di rumah sembari menunggu kabar kelulusan. Di kala fase menunggu itu, saya merasakan titik jenuh, saya melihat ibu saya bekerja setiap hari pergi pagi pulang petang, di malam hari kelelahan begitu seterusnya, pun keadaan ekonomi kami tidak berubah.
Melihat hal itu bukannya saya ingin membantu ibu bekerja malah tekad saya untuk bisa kuliah semakin besar. Sadar kuliah tak cuma butuh nyali tapi juga butuh materi, selama libur saya memutuskan untuk bekerja. Orang-orang kira saya mantap bekerja, melupakan angan-angan memakai toga, tapi biarlah orang berkata apa saya menikamti setiap proses yang ada.
Waktu itu saya bekerja sebagai guru les anak guruku, di luar hari itu saya bekerja sebagai kasir di sebuah toko bangunan. Dari sana saya mulai membuang gengsi, saya mencoba tidak malu pulang dan pergi berjalan kaki, saya merasakan bagaimana susahnya mengumpulkan rupiah dengan jerih payah sendiri. Sekitar dua minggu setelah saya bekerja, saya mendapat kabar bahwa saya dinyatakan lulus SNMPTN jurusan ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Jambi. Mendengar kabar itu seharusnya saya senang, tapi saya bimbang. Di satu sisi saya dan ke dua teman saya adalah generasi pertama dari SMA saya yang dinyatakan lulus masuk PTN lewat jalur undangan itu, di sisi lainnya saya khawatir tidak bisa memenuhi undangan tersebut.
Kusampaikanlah kabar itu pada ibu, ibu tak menunjukkan respon baiknya padaku. Aku memahami dengan baik sikap ibu, tentu tak mudah bagi seorang janda yang kala itu berusia 51 tahun merelakan anak perempuan semata wayangnya pergi merantau, terlebih tak ada bekal yang bisa dibawa. Tentu lebih mudah menyerahkanku pada tauke batu-bata untuk menjadi pencetak batu-bata atau mengajakku ke kebun membantu ia menyadap karet. Bagi gadis kampung miskin sepertiku, sudah menjadi hal yang biasa jika harus bekerja atau dikirim ke rumah mertua, impian menjadi sarjana sudah tentu menjadi bahan tertawaan para tetangga.
Saya akui saya miskin, tapi kemiskinan ini tidak membuat saya menjadi cengeng. Finansial yang terbatas bukan pembatas bagi saya untuk terus menuju tak terbatas dan melampauinya, perkara broken home, bagiku ia tidak lebih dari sekedar masa lalu, saya selalu move on dan berfokus pada masa depan.
Jujur saja aku tidak mau terus-terusan hidup miskin, aku tidak mau terus- terusan mendapat perlakuan yang tidak adil di lingkungan masyarakat khususnya di desaku, dan aku tidak mau terus-terusan menjadi beban bagi ibu dan nenekku. maka aku memutuskan untuk berkelana. Mei 2016 tanpa dukungan ibu dan hanya bersama restu nenekku, dengan uang dari hasil kerja yang tak seberapa ditambah uang saku pemberian nenek aku pergi merantau ke Jambi.
Awal-awal di Jambi badanku mengurus, aku sering berpikir berkali-kali untuk makan tiga kali sehari. Masalah tempat tinggal, sebelum menjadi penerima beasiswa bidikmisi, dulu aku belum memiliki kos-kosan yang menetap, aku pernah menumpang di kos-kosan beberapa kakak tingkat yang kukenal, pernah tinggal di rumah seorang teman yang baru kukenal, dan pernah juga selama kurang lebih empat bulan tinggal menumpang kemudian aku diusir.
Rasanya saya patah berkali-kali, tapi dari patah saya belajar tumbuh karena saya masih terlalu muda untuk rapuh. Singkat cerita dengan bantuan orang-orang baik yang dikirim Tuhan, Alhamdulillah di semester dua saya diamanahkan menjadi mahasiswa penerima beasiswa bidikmisi. Beasasiwa yang layaknya a whole new world bagi saya, dengannya saya memiliki harapan baru setiap harinya. Beasiswa bidikmisi benar-benar membantu saya dalam membidik mimpi-mimpi saya, biaya pendidikan dan biaya hidup yang diberikan pemerintah membuat ibu saya lega dan membuat semangat saya semakin mneggelora.
Menyadari bahwa pada akhirnya kebutuhan saya tidak tercukupi jika hanya bergantung pada beasiswa bidikmisi, saya mencoba mengikuti berbagai kompetisi. Alasan awal saya memilih menjadi pemburu kompetisi yaitu untuk mencukupi kebutuhan dan menambah uang jajan. Namun seiring berjalannya waktu saya merasakan bahwa lewat kompetisi saya berkesempatan mencoba mengaplikasikan ilmu yang didapat dalam kelas dengan isu yang terjadi, kemudian kita bisa memperluas jaringan yang nantinya akan memudahkan kita di masa depan, dan menariknya lewat kompetisi yang kita ikuti, kita bisa mendapat pembelajaran dan berbagi pengalaman dengan teman-teman dari berbagai kalangan. Dan bonusnya berkat bidikmisi dan kompetisi, aku berkesempatan bisa mewujudkan mimpiku untuk terbang gratis ke beberapa tempat. Adapun beberapa prestasi yang pernah saya raih bersama bidikmisi diantaranya;
Tahun 2017 : Juara I sekaligus Pembicara Terbaik I Lomba Debat Kebangsaan Urexpo 2017 Se-Indonesia. Juara I Lomba Debat Konstitusi oleh MPR RI Tingkat Daerah, Juara I LDBI Se-Unja, Juara III LDBI Se-UNJA, Juara II LDH sekaligus pembicara terbaik II Se-FH UNJA, Pembicara Terbaik III Lomba Debat Konstitusi Se-FH UNJA, Top 8 LDBI Se-Provinsi Jambi, Tim debat FH-UNJA pada lomba debat Mahkamah Konstitusi Se-Regional Barat.
Tahun 2018 : Juara I sekaligus Pembicara Terbaik I Lomba Debat Gebyar Mahasiswa BidikMisi Nusantara Se-Indonesia, Juara II Lomba Legislative Drafting Piala Moh.Natsir UII Law Fair 2018 Se-Indonesia, Top 8 Lomba Debat MK Se-Regional Barat 2018, Finalis Debat MK Se-Indonesia 2018, Juara III Lomba baca puisi HUT DWP UNJA 2018, Juara IV Lomba Debat Konstitusi yang diadakan oleh MPR RI Tingkat Nasional (dimana lomba ini memberiku kesempatan untuk tampil di salah satu saluran televisi nasional yang dapat disaksikan oleh seluruh masyarakat Indonesia).
Tahun 2019 : Juara I lomba Pidato Gebyar Mahasiswa BidikMisi Nusantara Se-Indonesia.
Selain mengikuti beberapa perlombaan di atas, saya juga aktif dalam organisasi kampus maupun organisasi di luar kampus, memoderatori pertandingan debat, menjadi MC dan pernah pula saya diamanahkan menjadi direktur di suatu oraganisasi yang saya ikuti. Bagi saya organisasi adalah tempat dimana saya dibentuk untuk menjadi pribadi yang lebih dewasa, bertukar pikir bersama mereka yang mempunyai cita untuk kemajuan bangsa, oraganisasi dan kompetisi nyatanya juga bukan penghalang bagi seseorang untuk memperoleh IPK memenuhi kriteria, dan Alhamdulilah hingga semester enam kemarin IPK-ku mencapai 3,87. Tidak hanya itu, dari organisasi dan kompetisi, bersama kedua rekanku dan dosen pembimbingku, aku berkesempatan menjadi salah satu narasumber pada acara talk show semangat kepemudaan di salah satu saluran televisi swasta di provinsi jambi. Menurut saya jika semasa mahasiswa yang kita lakukan hanya sebatas duduk, datang, pulang dan mengejar IPK, saya rasa masa muda kita terlalu biasa, makanya kita harus berani tampil beda.
Saya juga tertarik dalam kepenulisan, karena saya bukan anak raja saya juga bukan anak ulama jadi tidak ada alasan bagi saya untuk tidak menulis. Tulisan saya pernah dimuat beberapa kali oleh media kampus, dimana setiap tulisan yang terbit penulis akan diberi royalti. Sebenarnya saya tidak pandai dalam menulis, karya yang saya kirim untuk mengikuti kompetisi sering gagal berkali- kali, opini yang saya tulis juga pernah ditolak media. Tapi semua itu tidak memupuskan niat saya untuk terus berkarya, saya tidak mau menjadi pribadi yang patah asa, justru dari penolakan saya belajar apa sebenarnya kesungguhan.
Berprestasi dengan menjuarai kompetisi bagiku bukan prestasi sejati, prestasi sebenarnya adalah ketika kita tidak lupa diri akan hakikat kita untuk terus mengabdi, berbagi dengan apa yang kita miliki, menghebatkan orang-orang di sekitar kita, serta berguna bagi agama, keluarga, nusa dan bangsa.
Bersama rekan-rekan dan dukungan dari berbagai pihak, saya ikut mengkampanyekan “sarjana bukan sekedar asa” dengan cara goes to school ke sekolah-sekolah yang ada di kabupaten. Kami berharap dengan langkah kecil ini dapat merubah mindset anak-anak di pedesaan ataupun di pedalaman bahwa yang bisa bermimpi dan mewujudkannya bukan hanya mereka yang ada di kota bukan mereka yang berharta tapi semua yang memiliki kemauan untuk mewujudkannya. Sebagai pembicara saya berbagai cerita saya kepada mereka, tentang keluarga tentang keadaan perekonomian yang mungkin lebih baik dari mereka, dan tentang pentingnya kita berusaha untuk berbaik sangka kepada setiap apa yang Tuhan rencanakan, pun apa yang ditakuti untuk ke perguruan tinggi, bidikmisi akan memfasilitasi biaya pendidikan dan biaya hidup, selebihnya kita tinggal mengusahakan bagaimana cara bertahan. Lewat langkah kecil itu Alhamdulillah setiap tahunnya jumlah siswa dari SMA di kampungku yang lanjut ke perguruan tinggi semakin meningkat.
Saat ini sebelum memasuki semester tujuh kegiatan saya adalah mengikuti program magang di salah satu perusahaan yang ada di Kalimantan Timur. Hingga hari ini saya masih terus berusaha mewujudkan harapan-harapan yang selalu saya semogakan dan berusaha mempertanggungjawabkan amanah beasiswa bidikmisi yang negara berikan. Meski setiap harinya akan selalu ada rintangan dan tantangan saya yakin mereka akan membuat saya menjadi kuat.
Akhirnya dengan menghubungkan titik-titik yang pernah saya lewati, semakin ke sini saya semakin menyadari bahwa Tuhan itu Maha baik. Saya tidak menyesal dalam hidup menemui jalan liku berduri, saya mensyukuri hingga dua puluh tahun ini saya masih diberi nikamt berjuang oleh Tuhan. Semoga mahasiswa bidikmisi di negeri ini semakin gigih membidik misi, memutus mata rantai kemiskinan dan ikut berkontribusi mewujudkan mimpi ibu pertiwi.
Sekali lagi bagaimanapun kondisi kita selagi nyawa masih menyatu dengan raga, jangan pernah berhenti berusaha dan jangan putus berdo’a, teruslah mengasa, Allah membersamai kita. Saya meidiana dan ini adalah kisah saya, see you on to guys !
Dirilis dari grup FB Bidikmisi-KIP...
Oleh : Reni Permata Sari...
Bagi para mahasiswa...