0877-5029-6214
formadiksiunram20@gmail.com
Mataram, Universitas Mataram, INA. 2022.
blog-img
09/02/2020

MOSAIK MEWAH DARI ONGGOKAN SAMPAH Finalis TIMDIKSI Nasional 2019 Firdan Fadlan Sidik IAIN Salatiga

Thony Zohri | Kisah Inspiratif

MOSAIK MEWAH DARI ONGGOKAN SAMPAH

Oleh : Firdan Fadlan Sidik

“Keterbatasan finansial adalah sebuah anugerah yang selalu memberi kita peluang sekaligus tantangan untuk bisa berbuat lebih dari orang lain pada umumnya. Ia bagaikan harta karun yang Allah rancang untuk alur kisah hidup indahku.”

     Aku tak mengenal kejamnya dunia secara menyeluruh. Hanya saja mungkin ia terlalu kejam bagi orang yang tidak berani bermimpi. Teka-teki pelik tentang halang rintang yang menghadang akan senantiasa menjadi pemandangan pilu para pejuang mimpi. Terkadang perlu menulikan telinga, membutakan mata, menekuk lidah dan membisukan mulut untuk dapat melewati tiap pos ujian hidup. Proses perjuangan penuh tangis akan senantiasa bersahabat dengan si pemimpi. Goresan luka akan akrab dengan raga. Sepaket cercaann dan hinaan akan melekat dalam ingatan. Namun Allah percaya bahwa kita mampu melewati alur terjalnya, mengubah mimpi menjadi nyata untuk hidup bahagia kelak.

     Inilah kisahku. Bukan kisah dendam antara aku dan nasib hidupku. Bukan pula tentang kekejaman hidup dan kebencian si miskin terhadap si kaya. Inilah kisahku tentang pigmen cinta yang Allah teteskan ke dalam kisah hidupku yang sederhana. Kisah seorang anak buruh bengkel yang memberanikan dirinya untuk terjun di antara onggokan sampah, berharap rupiah mampu mengisi perutnya dan keluarganya di rumah.

      Kisahku berawal dari sebuah desa kecil di pedalaman tatar Sunda, Kabupaten Ciamis tepatnya. Sebuah pemukiman yang notabene tak berpendidikan, namun sarat akan kebajikan. Tak ada kebisingan, melainkan hanya burung yang berkicauan di sekitar pegunungan. Kebisingan yang ada di desaku hanya ada di pekarangan rumahku di mana ayahku bekerja dan menyatu di antara asap knalpot yang berseliweran mengotori hidungnya. Sementara lumuran oli meleleh di tangannya hingga sekujur kaos ‘partai’ yang dikenakannya menjadi lusuh.

      Kebisingan di rumahku juga ada di dapur, ketika ibuku kepayahan mengasuh adik balitaku yang merengek hebat minta susu ataupun mainan. Dilah ibuku, sosok bidadari di gubukku yang sederhana, pelipur lara dan sandaran luka di kala aku haus akan motivasi dan inspirasi hidup. Ia tak begitu pandai dari segi akademik terapan dan soal ekonomi. Namun ia punya segudang ilmu langit untuk keluarga. Walau terlahir dari keluarga menengah ke bawah dan hanya berijazah SD, tapi ibuku mampu hidup di tengah keterbatasan, berbekal iman yang ada di dada.

      Mampu mengenyam pendidikan dasar adalah sebuah mukjizat bagiku. Walaupun pemerintah telah membebaskan biaya sekolah, tapi aku tetap kewalahan untuk mengenyam pendidikan dasar. Sebagai anak sulung, aku tak akan membiarkan keempat adikku merengek minta susu dan mainan sementara aku dengan enaknya duduk di bangku sekolah. Orang tuaku memiliki jiwa malaikat sehingga apapun keinginan primerku selalu mereka perjuangkan. Akhirnya akupun mampu menyenyam pendidikan dasar walaupun dengan segala keterbatasan.

      Motivasi hidupku memuncak ketika dua pemuda gagah berpenampilan preman seringkali mendatangi gubukku dan membuat wajah ayahku kebingungan. Di saat itulah ibuku ribut mengutak-ngatik isi lemari berharap ada barang berharga yang mampu menutupi hutang dari bank. Pemuda itu berlaga kurang sopan dengan membawa sepatunya masuk ke dalam gubuk. Suara bernada kerasnya begitu lantangnya keluar dari mulut preman itu, ancaman kasar bagi ayahku. Jamuan minum yang disajikan ibuku sama sekali tak dihiraukannya barang dilihat sekalipun. Saat itulah aku menyelinap di balik lemari, memasang telinga lekat-lekat dengan mata pedas. Seberkas amarah mengumpul di balik dada. Inginku pukul wajah preman bengis itu. Namun apa daya, aku hanya seorang anak buruh bengkel yang bau oli.

      Hidupku terinspirasi dari seonnggok sampah di sekitar rumah yang seolah memanggil instingku untuk melakukan hal yang lebih dari anak seusiaku pada umumnya. Di usiaku yang masih menginjak bangku kelas 2 SD, onggokan sampah itu setiap hari aku hampiri, berharap di antara mereka ada yang layak masuk ke dalam karung goni yang aku pikul di punggungku. Aku tak menyetorkan sampah itu mentah-mentah seperti pemulung pada umumnya. aku rangkai dan aku olah hasil buruan sampahku menjadi sebuah barang yang lebih bermakna. Dari plastik botol, aku rangkai menjadi sebuah bunga. Begitupun halnya aku perlakukan kreativitasku terhadap sampah-sampak berbahan lain. Aku sulap sampah-sampahku menjadi barang yang bernilai jual. Bingkai foto dari kardus dan stik bekas misalnya yang aku jual dengan harga dua ribu rupiah kepada teman-temanku.

       Keseharianku memberikanku periuk prestasi di sekolah. Di ajang lomba siswa berprestasi tingkat kota, guruku memilihku untuk menjadi delegasi sekolah untuk bertarung di tingkat desa, kecamatan, hingga kota. Aku hadirkan kreasi kotak surat unik dan miniatur sepeda dari koran bekas. Alhamdulillah, selain mahakarya sampahku laku terjual seharga dua ratus ribu, sekolahpun memberikan penghargaan berupa uang pembinaan yang jumlahnya cukup untuk memberikan mainan adik-adikku, uang jajan selama 1 bulan. Guru-guruku pun menyanjungku dan turut memberikan perhatian atas kondisi keluargaku.

       Setetes cinta yang Allah tuangkan ke dalam kisah hidupku tak hanya di situ. Ketika aku menginjak bangku SMP dan SMA, Allah memberiku jalan untuk mengenyam pendidikan lanjut melalui santunan beasiswa yang diberikan sekolah kepadaku. Aku masuk pondok pesantren sekaligus bersekolah formal. Aktivitasku berkreasi dengan sampah sudah tidak memungkinkan lagi, beralih dengan kesibukanku berorganisasi dan meraih prestasi di berbagai event lomba. Onggokan sampah itu menjelma menjadi deretan piala yang terjejer rapi di meja belajarku. Setiap tahunnya aku tak pernah alfa meraih prestasi. Sebut saja kompetisi Musabaqah Tilawatil Qur’an, Musabaqah Tafsir Qur’an, pidato, olimpiade matematika, dan Ketangkasan Baris-Berbaris, kompetisi kepenulisan esai, cerpen, karya ilmiah, dan puisi serta debat bahasa Arab pernah aku raih di masa SMP dan SMA.

       Tetes cinta Allah memang tak pernah habis. Di masa kuliahku, beasiswa Bidik Misi seolah menganggkat derajatku. Dari seonggok sampah hingga angan untuk kuliah yang selama ini terbayang di angan, kini terkabul dengan indah. Potensi kepenulisanku kian aku geluti dan nama penaku kian terukir indah di berbagai media massa. Di tahun pertama kuliahku, tak kurang dari 10 piala kompetisi kepenulisan berskala nasional aku juarai, dan bahkan bisa memberangkatkanku trip dan konferensi nasional di Kepualauan Seribu, Bangka Belitung, dan pesisir Makassar. Sungguh membuat seorang anak desa tertawa dan menangis bahagia.

       Tahun kedua kuliahku, prestasi kepenulisan kian mengalir deras. Terdapat 7 piala kepenulisan yang aku kumpulkan di meja belajarku yang membuat ATMku gemuk dan mampu memuntahkan isinya ke rekening orang tuaku di rumah. Kebaik-hatian Allah semakin aku rasakan ketika aku terpilih menjadi satu di antara sepuluh duta Santri Nasional 2018.

       Dan sekarang, di tahun ketiga aku kuliah, prestasi tak berhenti mengalir. Amanah terbesar yang aku emban adalah menjadi Duta IAIN Salatiga. Segudang amanah dititipkan almamaterku untuk senantiasa  menginspirasi dan berkontribusi untuk mengharumkan nama institusi. Aku berhara kesederhanaan gaya hidupku tak lantas membumbung tinggi atau bahkan angkuh. Aku berjuang dari kesederhaaan, dan menyukai berbagai kesederhanaan dalam hidup.

Terima kasih Ya Allah Ya Tuhanku,

Terima kasih Indonesia-ku,

Terima kasih Bidik Misi, yang telah memberiku peluang untuk merangkai mosaik mewah si anak yang hidup dari onggokan sampah. 

 

 

Penulis adalah mahasiswa Bidikmisi IAIN Salatiga

Bagikan Ke:

Populer






WhatsApp-Button