Teng...Teng...Teng...
Suara lonceng pesantren membangunkanku dari lelapnya istirahat di malam hari. Jam dinding di kamar menunjukkan pukul 3 dini hari. Segera kuambil wudhu dengan berjinjit melewati 9 teman lainnya yang sedang pulas tertidur agar mereka tidak terbangun.
Kubentangkan sajadah dan larut dalam kekhusuyukan ibadahku kepada sang Ilahi. Di akhir sujud sengajaku perlama untuk mengucapkan syukur karena masih diberi kesempatan kembali untuk dapat menghirup udara segar kehidupan. Kutadahkan tangan untuk mendoakan kedua orang tua (Babah dan Umik), para guru, teman-teman, saudara-saudari dan orang-orang yang telah berkorban dan menyayangiku. Lama sekali aku berdoa, banyak yang kupinta, kesehatan, keselamatan, cita-cita, kelulusan ujian, dan keluh-kesahku dalam hidup. Tak terasa air mataku menetes setiap kali aku berdoa untuk almarhum Babahku. Aku memang sering menangis dalam diam jika teringat dengan beliau. Kamar penuh sesak ini menjadi saksi bisu berapa kali aku menangis setiap shalat tahajjud.
Pagi pun menjelang, berlomba dengan hangatnya sang mentari, aku telah rapi berpakaian ala anak pesantren.
“Indah, ayo cepat ke dapur, nanti lauk nya keburu habis!”. Teriak teman ku dari depan asrama.
‘Indah’ itulah panggilanku, terlahir dengan nama lengkap ‘Indah Permata Sari Siahaan’. Teman-teman mengenalku sebagai sosok yang serius, suka belajar, kamus berjalan, sampai guru di sekolah memanggilku ‘Si Ahli Mate-mateka’. Tetapi itu dulu, sekarang semua berubah sejak Babah meninggalkan ku untuk selama-lamanya.
Waktu itu aku sedang belajar di tempat favoritku yaitu, tangga lantai dua gedung SMA untuk menghadapi ujian esok hari. Tiba-tiba pengeras suara memberitahukan bahwa aku mendapatkan panggilan dari orang tuaku. Maklumlah di pesantren kami tidak diizinkan untuk membawa barang elektronik sehingga kami harus menggunakan telepon genggam yang ada di kantor pengasuhan untuk berkomunikasi.
“Assalamualaikum kak, Babah kita sudah nggak ada lagi kak. Babah sudah meninggal”. Isak tangis adikku masih terdengar di seberang telepon. Percayalah kawan, jika mulai bercerita tentang almarhum Babah pasti air mata ini terus menetes, seperti sekarang ini. Mulutku tercekat dan langsung lari ke kamar mandi. Entah mengapa aku tidak ingin menunjukkan kesedihan ini di depan teman-temanku. Seperti ada batu besar yang menghantam kepalaku. Aku roboh, kedua kaki ini telah melupakan tugasnya untuk menopang tubuhku. Aku menangis sejadi-jadinya tapi tak bersuara. Aku tersedu, pikiranku sekarang sedang memainkan memori kenanganku bersama Babah. Sakit sekali rasanya, penyemangat hidupku telah pergi. Sakit yang sangat luar biasa, tidak pernah aku merasakan rasa perih ini selama hidupku. Sesak sekali, seperti semua hidupku sudah berakhir.
Aku terpuruk. Nilaiku menurun dan aku gagal dalam ujian. Biasanya aku duduk di peringkat pertama, sekarang aku harus rela menempati posisi ke lima. Aku sering melamun, pertanyaan dari teman sering kuabaikan, hingga selera makanku berkurang. Aku tidak memiliki semangat lagi untuk hidup, apalagi belajar. Aku berpikir tidak ada gunanya belajar lagi, jika hasilnya nanti tidak bisa kupamerkan ke Babah. Kondisiku di perburuk dengan akan di pindahkannya aku ke sekolah yang ada di kampungku.
Aku yang dulu hidupnya serba cukup harus menghadapi masalah ekonomi sekarang. Keluargaku benar-benar panik. Semua harta benda kami termasuk ladang dan pesangon Babah sebagai anggota DPRD Kota Tanjungbalai telah habis untuk biaya pengobatan Babah selama satu tahun di rumah sakit. Babah mengidap penyakit paru-paru basah. Wajar saja tabungan kami habis untuk biaya medis. Sisanya dipergunakan Umik untuk makan dan keperluan sehari-hari. Karena sekolah di pesantren mahal, Umik memutuskan untuk memindahkanku ke sekolah yang lebih murah.
Malam itu aku tidak bisa tidur. Aku berpikir, lalu selanjutnya apa. Sebenarnya apa tujuan Allah menciptakanku di dunia yang fana ini. Untuk apa aku di ciptakan kalau hanya untuk dihukum dan dipukul dengan masalah yang bertubi-tubi. Bagaimana dengan nasib kedua adikku, jika aku tidak mau pindah dari pesantren. Bagaimana hancurnya perasaanku, kalau teman-temanku mengetahui kepindahanku disebabkan biaya. Aku malu untuk mengatakan bahwa keluargaku sudah jatuh miskin. Ah! aku sudah muak, semuanya terasa membosankan. Ternyata ditengah kegelisahan ini, Allah masih saja peduli dengan hamba-Nya yang telah berburuk sangka terhadap-Nya. Allah sungguh sangat sayang kepada makhluk yang selalu mengeluh dan tidak bersyukur ini. Tiba-tiba Allah mengingatkanku dengan kata-kata yang pernah dikatakan almarhum Babah dahulu.
“ Nak, kalau kita nanti miskin harta, itu lebih baik dari pada kita miskin ilmu. Ilmu yang akan menjadikan hidupmu lebih baik. Ilmu yang akan membantumu dalam megumpulkan harta dan ilmu juga yang akan mengangkat derajatmu, Nak.”
Kalimat Babah membuat adrenalin semangatku naik. Kalimat sakti itu membuat rasa takut dan pesimisku hilang. Hidupku belum berakhir, suara tembakan baru saja dilepas dan itu pertanda perjuangan baru saja dimulai. Dengan semangat yang menggebu, sehabis shalat subuh aku langsung mendatangi rumah pimpinan pondok pesantren dan membawa rapor serta semua piagam penghargaan yang telah kuperoleh. Aku tidak bisa lagi menunggu lebih lama. Karena ini berhubungan dengan masa depanku. Aku menceritakan semua masalahku dan di kalimat penutup aku meminta beasiswa atas semua prestasi yang kutorehkan selama ini sambil menunjukkan beberapa piagam dan nilai rapor. Aku menekankan secara halus, bahwa jika pesantren ini tidak memberikanku beasiswa, maka bersiaplah akan kehilangan murid yang telah membawa harum nama pesantren ini. Atas izin Allah Yang Maha Kuasa, alhamdulillah aku berhasil. Permintaanku dikabulkan dengan syarat aku harus mengajar les bahasa inggris kelas 3 SMP pada sore hari. Itu tidak masalah bagiku, karena aku senang berbagi ilmu dan sudah terbiasa mengajari teman-temanku. Allah sangat sayang kepadaku.
Tahun pun berlalu dan kami berada di semester akhir kelas 3. Para guruku semangat sekali mempersiapkan anak didiknya untuk menghadapi Ujian Nasional. Setiap hari selalu diisi dengan simulasi UN, membahas soal-soal secara berkelompok maupun mandiri. Teman-temanku bersemangat sekali memilih jurusan dan universitas favorit mereka. Sedangkan aku harus sibuk mencari informasi beasiswa jika ingin melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah.
Tahun 2015 di bulan juli, kembali kumengucap syukur kepada Sang Khalik, kepada Allah Yang Maha Baik, yang tidak pernah membiarkan hamba-Nya bersusah hati. Serasa mustahil dan tak percaya ketika namaku dinyatakan diterima di universitas yang menjadi kebanggaan masyarakat Sumatera Utara. Universitas yang sangat aku idam-idamkan, bahkan tak pernah membayangkan bisa masuk ke universitas bergengsi ini. Aku juga dinyatakan lulus beasiswa Bidikmisi. Di Universitas Sumatera Utara jurusan Sastra Ingggris inilah aku akan menuntut ilmu selama 4 tahun.
Dengan bermodalkan uang hasil tabungan dari hadiah lomba, aku bersama temanku yang juga lulus di universitas yang sama serta bersama keluarganya, berangkat dari kota kecilku menuju kota Medan. Aku sangat sedih, karena keluargaku tidak bisa membersamaiku pada saat itu. Selain tidak ada dana, Umikku juga harus berangkat ke Malaysia untuk menjadi TKW. Umikku melakukan itu karena kebutuhan 2 adikku yang mulai mendesak. Umikku memang wanita hebat. Umik tidak membiarkan kami, anak-anaknya putus sekolah dikarenakan biaya. Umik rela menjadi tukang suruh di negara orang agar anak-anaknya bisa memiliki masa depan yang lebih baik.
Beasiswa Bidikmisi sudah banyak membantuku untuk membayar uang kuliah. Namun, untuk membayar buku dan keperluan kuliah lainnya serta biaya hidup tentulah itu tidak cukup. Banyak yang kulakukan untuk bisa bertahan hidup di Medan. Mulai dari jualan burger di depan-depan supermarket, hingga menjadi karyawan toko kelontong. Apapun kukerjakan semampuku selama itu halal. Pernah beberapa kali ditipu sehingga keringat yang sudah kuperas tidak ada nilainya. Seperti dua hari menuju gajian, bosnya lari dan lain sebagainya. Sungguh sangat miris, sudah jatuh tertimpa tangga pula. Tetapi semuanya sudah kuikhlaskan, semoga diganti-Nya dengan yang lebih baik pula. Dua minggu pertama kerja di toko, setiap pulang kerja aku selalu menangis. Badanku terasa remuk, bagaimana tidak aku harus mengangkat galon yang berisi air mineral ataupun karung beras ke mobil pelanggan. Aku harus berdiri selama 8 jam lamanya untuk melayani pelanggan. Aku tidak diizinkan duduk kecuali saat makan dan shalat. Belum lagi besok pagi aku harus kuliah. Kembali aku menangis dalam diam. Aku tidak pernah menceritakan kesusahanku kepada keluarga. Biarlah beban ini kutanggung sendiri. Kalau aku ingin berhasil, maka aku harus mengerahkan semua tenaga ku. Aku harus bekerja dan belajar di atas rata-rata orang kebanyakan.
Aku tidak pernah menyesal atas apa yang telah Allah takdirkan kepadaku. Aku yakin, setiap kesulitan pasti ada kemudahan dan selalu ada hikmah di dalamnya. Aku ditakdirkan seperti ini karena Allah yakin aku adalah gadis yang kuat. Di dua tahun pertama masa kuliah, kuhabiskan waktu hanya untuk bekerja. Aku benar-benar tidak pernah membuka buku lagi dan menjadi mahasiswa pasif di kelas. Aku tidak fokus lagi belajar karena kondisi fisikku yang terlalu lelah dan tidak jarang teman- teman sering mendapatiku tertidur di kelas. Memang benar kata pepatah arab “Di dalam tubuh yang sehat, terdapat pikiran yang kuat”.
Ketika aku sedang merasa down dan ingin segera menyerah, segeraku sadarkan diri bahwa ada wanita mulia yang harus ku bahagiakan terlebih dahulu. Aku tidak ingin menghancurkan cita-cita dan harapan yang ia gantung kepadaku.
Di dalam silsilah keluargaku, baik dari pihak keluarga Babah maupun Umik, jika dihitung maka jumlah cucu nenek dari kedua belah pihak berjumlah 70-an lebih. Ya , aku memiliki banyak sepupu yang jauh lebih tua dari padaku. Namun sayangnya, tidak ada yang bisa dijadikan contoh ataupun panutan. Aku lah si ranting yang tak bercabang itu. Karena hanya aku satu-satunya di keluarga besarku yang kuliah di universitas negeri dan menerima beasiswa.
Dewasa ini, semakinku menyadari hikmah dari setiap peristiwa yang telah Allah gariskan di dalam hidupku. Dan perjalanan sesungguhnya sudah Allah rencanakan jauh sebelum aku menyadarinya ketika aku duduk di bangku SMP. Saat itu, akulah satu-satunya siswa dari kelas unggulan yang tidak dapat mendaftar ke SMAN1 dikarenakan nilai Ujian Nasionalku yang rendah. Allah menjaga hatiku agar tidak menyalin kunci jawaban yang telah diberikan oleh guru-guru di sekolahku. Aku menangis pada saat itu dan sempat mogok bicara sampai seminggu.
Pada saat mogok bicara itu, aku semakin rajin ke perpustakaan umum yang ada di samping sekolah. Qodarullah, Allah mempertemukanku dengan novel 5 Menara karya Ahmad Fuadi. Novel ini seperti tau saja masalah yang sedang kuhadapi dan ia memberiku solusi. Solusi terbaik yang pernah aku putuskan di dalam hidupku. Dengan bismillah dan hati yang mantap, aku mulai buka suara dan mengatakan, “ Bah, Mik...aku mau masuk pesantren saja.”
Pesantren mengajarkanku banyak hal. Dunia dan akhirat, satu paket sekaligus. Disini aku dibentuk untuk menjadi pribadi yang mandiri, tangguh dan disiplin. Disini aku juga diajarkan bagaimana memuliakan orang tua, mendoakan mereka, menyenangkan hati mereka sebelum ataupun sesudah wafat dan lain sebagainya. Aku juga sudah fasih berbahasa arab dan dapat mengartikan Al-quran. Sungguh, nikmat Tuhanmu yang mana lagi yang kau dustakan.
Setelah dapat membeli sepeda motor, laptop dan hand phone, aku pun resign dari toko itu dan mulai mengejar ketertinggalan ku dalam belajar. Mulai ku susun daftar organisai yang ingin ku masuki, event untuk menjadi panitia dan mulai mencari lomba-lomba yang sesuai dengan minat dan bakatku.
Sekarang aku duduk di semester akhir, yaitu semester 8. Aku telah memiliki jabatan strategis dibeberapa organisasi dan kepanitiaan. Aku juga pernah terbang ke Jakarta, Bandung, Padang dan Makassar gratis. Bersalaman dan berdiskusi dengan pejabat dan orang penting. Aku telah memenangkan beberapa lomba tingkat nasional dan pernah menginap di hotel yang mewah dan semuanya gratis.
Banyak teman-temanku mengatakan, “Ah, sungguh enak menjadi dirimu, kawan. Terbang gratis, jalan-jalan gratis dan bisa bertemu dengan orang penting”. Dan aku hanya bisa tersenyum mengingat perjuangan demi perjuanagn yang telah aku lalui. Mereka belum tau saja, sebelum memiliki motor aku harus berjalan kaki 4 km setiap hari. Pergi pagi lalu pulang malam. Kost hanya tempat istirahat untuk merenggangkan tulang dan otot yang sudah tidak mampu lagi bekerja. Mereka mungkin belum merasakan bagaimana mengganjal lambung perih yang seharusnya menggiling makanan, diganti dengan air mineral.
Akulah si ranting yang tak bercabang itu. Sekarang aku telah memiliki banyak teman hebat dari Sabang hingga Merauke. Aku bisa mandiri dan menghidupi diriku sendiri. Akulah si ranting yang tak bercabang itu, yang dulu khawatir besok mau makan apa dan sekarang telah membuka bimbingan belajar dan memberi lowongan pekerjaan kepada mahasiswa. Akulah si ranting yang tak bercabang itu, yang dulu hanya makan sekali sehari, sekarang aku bisa makan apa saja yang aku inginkan. Akulah si ranting yang tak bercabang itu, yang pernah menyandang sebagai Mahasiswa Berprestasi Penerima Bidikmisi USU 2018.
Karena nikmat yang Allah berikan kepadaku begitu besar dan tidak ada habisnya, aku ingin berterimakasih. Berterimakasih karena tetap diberikan kesehatan dan kekuatan dalam menghadapi kesulitan-kesulitan dalam hidupku. Berterimakasih dengan cara mengabdi untuk negeri ini sebagai relawan dalam sejumlah kegiatan diberbagai organisasi dan komunitas. Aku juga mengabdi menjadi pengajar setiap minggunya di “Sekolah Biru Langit”, yaitu sekolah untuk anak-anak putus sekolah di kota Medan. Aku ingin berbagi rasa, bukan hanya ilmu. Agar mereka merasakan indah dan nikmatnya menjadi orang yang berilmu. Karena ilmu akan membawamu kepada rasa bahagia yang sesungguhnya.
Aku bersyukur kepada Allah, karena mungkin jika Allah tidak memberiku ujian seperti ini, mungkin kisah hidupku akan berubah. Jika Allah tidak menekanku seperti ini, mungkin semua potensiku tidak akan pernah keluar. Aku, Indah Permata Sari Siahaan, si ranting yang tak bercabang akan terus melanjutkan mengejar cita-cita yang belum terselesaikan dan akan mengangkat derajat keluarga serta akan terus membahagiakan wanita mulia itu.
Dirilis dari grup FB Bidikmisi-KIP...
Oleh : Reni Permata Sari...
Bagi para mahasiswa...